Mengulas CASI (Bagian 2)

3. Patung

Halo. Saya masih melanjutkan ulasan CASI kemarin. Mungkin saya cuman kangen kuliah dan bikin jurnal-jurnalnya (yang dulu saya suka malas bikin) ya, jadi ketika ada kuliah gratis (plus makan gratis #ehe #dansponsornyamengakuhambaallah) niatan untuk mencatatnya kembali saya tuntaskan, meskipun sangat telat dari rencana awal.

Anyway, di bagian selanjutnya kami mendengarkan pemaparan dari para peneliti yang tengah melakukan residensi di ARC, yakni Ahmad Tridakusumah yang meneliti soal Land Reform di Kadupandak dan Lian Sinclair yang sedang menulis tesis tentang kasus  Land-Grabbing di Kulon Progo. Juga ada Hendro Sangkoyo atau Mas Yoyok dari School of Democratic Economics (SDE) yang membredel perubahan konteks persoalan politik-tani dan ekologi di paruh kedua 1960an.

Terakhir, ada ulasan Pak Dianto soal gerakan sosial dan kunjungannya ke MST Brazil, sebagai referensi alternatif metodologi pergerakan melawan rezim neoliberal. Tapi saya tidak akan menjelaskan soal MST disini. Karena kalian bisa langsung mengunjungi web mereka, dan Pak Dianto menyatakan sedang mulai menyusun draft tulisan tentang kunjungan dan update terkini terkait MST. Atau kalian bisa ikutan Kelas CASI mendatang dan berdialog langsung tentangnya.

Continue reading “Mengulas CASI (Bagian 2)”

Mengulas CASI (Bagian 1)

Beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 29 November – 2 Desember 2017, saya ikutan Pelatihan Critical Agrarian Studies of Indonesia (CASI) Kelas Lanjutan yang diselenggarakan oleh Agrarian Resources Center (ARC). Karena ada banyak hal yang saya dapatkan, pikirkan, serta pertanyakan, saya memutuskan untuk mengulasnya sedikit disini—“sedikit” karena materinya cukup padat untuk hitungan 4 hari penuh yang kami habiskan di sekretariat-perpustakaan ARC. Ketika mendapatkan surat penerimaan dan membaca kurikulumnya, saya bertekad menulis jurnal singkat/ulasan untuk tiap topiknya setiap selesai kelas. Tapi tentu saja tekad tersebut luntur karena selama 4 hari pelatihan, pada waktu yang tersisa saya langsung lelap tidur (Baru dipost sekarang pun karena hampir dua bulan belakangan banyak hal terjadi #hiksz).

CASI sendiri merupakan program yang diselenggarakan secara rutin oleh ARC dengan 2 tingkatan, Kelas Dasar dan Lanjutan (saya sendiri tidak sempat ikut yang Kelas Dasar karena tidak menemukan pengumumannya). Pada CASI Kelas Lanjutan kali ini, kami diajak melakukan pembacaan ulang atas transisi agraria, khususnya di Indonesia, serta menyoal kembali jawaban-jawaban yang tersedia. Misalnya, apakah “tanah untuk rakyat”, reforma agraria, dan posisi petani (masih) menjadi poin strategis bagi transformasi sosial di era urban-global-kontemporer seperti sekarang?

Continue reading “Mengulas CASI (Bagian 1)”

Resensi | The God of Small Things

…the secret of the Great Stories is that they have no secrets. The Great Stories are the ones you have heard and want to hear again. The ones you can enter anywhere and inhabit comfortably. They don’t deceive you with thrills and trick endings. They don’t surprise you with the unforeseen. They are as familiar as the house you live in. Or the smell of your lover’s skin. You know how they end, yet you listen as though you don’t. In the way that although you know that one day you will die, you live as though you won’t. In the Great Stories you know who lives, who dies, who finds love, who doesn’t. And yet you want to know again.

That is their mystery and their magic.

*

Rencana rute perjalanan lumayan panjang Bandung – Surabaya – Kediri – Sidoarjo –Yogyakarta – Bandung di bulan Januari lalu menjadi salah satu alasanku untuk akhirnya membeli juga The God of Small Things tulisan Arundhati Roy, sebagai bacaan kecil selama duduk bergoyang naik turun di kursi gerbong kereta api ekonomi. Akhir-akhir ini sedang jarang sekali membaca novel fiksi dan aku jengah dengan jurnal, buku, dan teks akademik yang terasa kering diperas rutinitas kerjaan.

(Meski ternyata novel debutan ini pemenang Booker Prize 1997, aku lebih dulu mengenal Arundhati Roy melalui aktivisme politik dan esai-esainya yang kontroversial, seperti NGOization of Resistance dimana ia berargumen bahwa gelombang NGO yang menyebar di India pada tahun 1990an menjadikan perlawanan sebagai tren pekerjaan baru (yang pendanaannya dibayari oleh korporasi-korporasi dan agen utama neoliberal macam IMF dan Bank Dunia yang menyalurkan dananya melalui beragam NGO yang tidak dapat/mau/berani memberikan kritisisme mendasar terhadap pendonornya), juga bagaimana ia membuat marah kaum Hindu nasionalis India karena membongkar mitos Mahatma Gandhi yang nyatanya dibentuk media Barat dan menunjukkan bagaimana Gandhi hanyalah “the hero of the status quo” (pahlawan bagi siapapun yang tidak menginginkan perubahan radikal, terutama atas sistem kasta dan struktur sosial-politik-ekonomi) melalui runutannya atas tulisan dan perkataan Gandhi sendiri.)

Continue reading “Resensi | The God of Small Things”

Catatan dari Dukuh Paruk

ronggeng
Ilustrasi buat Srintil, sang renggana Dukuh Paruk yang mengajariku banyak hal (Cat air di atas kertas)

Di tengah Dukuh Paruk yang tengah kering kerontang, Srintil yang berusia 11 tahun menembang dan menari laksana ronggeng betulan. Di bawah teduhnya pohon nangka, gadis perempuan itu molek berolah gerak dan suara diiringi mulut Rasus, Warta, dan Darsun yang pura-pura jadi gendang, calung, dan gong. Dengan imbalan kecupan di masing-masing pipi, mereka janji mengiringi Srintil menari tiap sore.

Begitulah kisah Rongeng Dukuh Paruk dimulai. Aku baru selesai membaca novel karya Ahmad Tohari yang katanya terkenal ini (Bukunya bahkan sudah diangkat jadi film, dan aku tetap tidak ada niatan nonton). Buatku buku ini berkesan, karena ia tak hanya menceritakan perjalanan identitas seorang perempuan, tetapi juga perjalanan budaya sekelompok masyarakat dukuh kecil yang dicap bodoh, melarat, miskin, dan penyakitan. Edisi buku yang kubeli merupakan gabungan dari edisi trilogi Ronggeng Dukuh Paruk: Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala.

Continue reading “Catatan dari Dukuh Paruk”

Resensi Buku | No Logo

Saya pertama kali mengenal Naomi Klein semasa kelas proposal semester enam, ketika saya ingin menulis tentang seni visual jalanan (street art) sebagai alternatif strategi resistensi masyarakat sipil global terhadap globalisasi neoliberal. Tulisan Klein mengenai culture jamming dan Reclaim The Streets (RTS) saat itu seolah menjadi pencerahan. Kala itu saya hanya membacanya sepintas lalu (hanya menemukan versi e-book dan saya benci membaca e-book). Proposal itu akhirnya tidak sampai ke tugas akhir karena banyak hal: parameter kealternatifan dan resistensi yang saat itu menurut dosen belum dengan baik saya rumuskan, pertanyaan tentang street art yang ternyata tak luput dari komodifikasi, hingga soal representasi contoh kasus. Atau mungkin saat masa skripsi beserta tenggat-tenggatnya menjelang saya lalu menemukan topik lain yang lebih tidak dipertanyakan ke-HI-annya (sempat saya ditanyai apakah tulisan tentang street art dalam lanskap urban tidak lebih kedengaran seperti skripsi planologi). Apalagi di masa itu saya mengidap sindrom pragmatis-nan-manut-manut-saja-agar-skripsi-segera-kelar.

Lalu beberapa hari lalu di perpustakaan kecil c2o, saya mendapati No Logo karya Naomi Klein itu bertengger di rak buku. Setelah kini selesai membaca keseluruhan bukunya, saya sempat menyesali mengapa dulu tak kepikiran untuk mencari buku aslinya disini. Klein membagi buku ini menjadi empat bagian, No Space, No Choice, No Jobs, dan No Logo. Masing-masing bagian saling terhubung dalam menjelaskan mulai dari cuplikan sejarah marketing dan branding hingga aktivisme masyarakat sipil global yang mulai sadar dan merespon ekses globalisasi neoliberal.

Continue reading “Resensi Buku | No Logo”

Sekolah Rakapare Lalu (Bagian 2)

Orangtua angkat saya yang jadi pemalu kalau ada kamera

Pagi-pagi bulan Januari tanggal tiga saya mendapat email dari Komune Rakapare yang kira-kira berkata, “Semesta rupanya merestui pertemuan kita”. Saya suka kalimat-kalimat seperti itu. Tanggal delapan jam sepuluh pagi, kami berkumpul di depan gerbang ITB dan berangkat tiga jam kemudian (Waktu yang teramat lama bagi orang yang tak pandai basa-basi seperti saya).

Akhirnya tiba juga di lokasi tempat kami akan singgah selama enam hari, yakni RW 13 Kampung Cikapundung, Desa Sunten Jaya, Bandung Barat. Desa ini membentang di sebuah lembah, diapit bukit-bukit perkebunan kina, kayu putih, pinus, rumput, kubis, hingga zucchini. Selain perkebunan, dataran tinggi ini diliputi hutan berselimut kabut tipis-tipis dengan sinar matahari menerobos di antara. Setelah pengumuman siapa akan tinggal dimana dengan siapa dan dengan orangtua angkat yang mana, kami pun bergegas. Saya serumah dengan dua gadis berkerudung, Anggika dan Siska.

Continue reading “Sekolah Rakapare Lalu (Bagian 2)”

Sekolah Rakapare Lalu (Bagian 1)

...
|Gambar hutan konifer yang saya ambil kala bersekolah

Malam ini memori saya berputar mundur sebelas hari: teringat Sekolah Rakapare. Ia taman bermain yang ternyata menyimpan serepih petunjuk atas teka-teki eksistensi kosmis saya di semesta –setidaknya menurut versi manusia-sok-tau saya.

Pada mula

Mari mundur lebih jauh lagi karena saya jadi teringat kembali alasan kenapa di malam penghujung tahun saya malah mengisi kolom-kolom aplikasi Sekolah Rakapare—ketika yang lain sibuk membicarakan mulai dari kecelakaan pesawat hingga andai-andai tentang siapa yang mestinya ada di sisi ketika tengah malam nanti menyimak kembang api.

Saya adalah seorang lulusan segar—lebih tepatnya lulusan segar yang gelisah karena akhirnya idealismenya harus berhadap-hadapan dengan realita (yang dikonstruksi oleh cuma segelintir manusia). Saya tak mau menyerah begitu saja pada pertanyaan klasik kelulusan: “Sekarang kamu mau mengabdi pada sektor kapitalis yang mana?” atau lebih buruk: “Mungkin mau mencebur dalam sistem birokrasi basi dan pemerintahan setengah-setengah?” Saya tahu betul apa yang saya tak inginkan. Celakanya apa yang benar-benar saya inginkan belum pula kelihatan. Sindrom klise para lulusan skeptis nan putus asa. Solusinya tak kalah picisan: LARI!

Continue reading “Sekolah Rakapare Lalu (Bagian 1)”