Sekolah Rakapare Lalu (Bagian 2)

Orangtua angkat saya yang jadi pemalu kalau ada kamera

Pagi-pagi bulan Januari tanggal tiga saya mendapat email dari Komune Rakapare yang kira-kira berkata, “Semesta rupanya merestui pertemuan kita”. Saya suka kalimat-kalimat seperti itu. Tanggal delapan jam sepuluh pagi, kami berkumpul di depan gerbang ITB dan berangkat tiga jam kemudian (Waktu yang teramat lama bagi orang yang tak pandai basa-basi seperti saya).

Akhirnya tiba juga di lokasi tempat kami akan singgah selama enam hari, yakni RW 13 Kampung Cikapundung, Desa Sunten Jaya, Bandung Barat. Desa ini membentang di sebuah lembah, diapit bukit-bukit perkebunan kina, kayu putih, pinus, rumput, kubis, hingga zucchini. Selain perkebunan, dataran tinggi ini diliputi hutan berselimut kabut tipis-tipis dengan sinar matahari menerobos di antara. Setelah pengumuman siapa akan tinggal dimana dengan siapa dan dengan orangtua angkat yang mana, kami pun bergegas. Saya serumah dengan dua gadis berkerudung, Anggika dan Siska.

Kami bertiga awalnya salah masuk rumah, membuat nyonya rumah dan teteh-teteh yang juga salah mengira mulai memasak sambal pete dan membereskan kamar tidur untuk kami meluruskan kaki. Sampai akhirnya Choirul, sang Kepala Sekolah Rakapare, menyusul kami bertiga. Setelah serangkaian permintaan maaf dan basa-basi ceria kami diantar menuju rumah keluarga angkat kami yang sebenarnya.

Sekolah Rakapare, Tanda Seru.

Sekolah (scholae) berasal dari bahasa Yunani yang pada mulanya berarti waktu senggang yang sengaja diluangkan untuk belajar. Rakapare dalam Bahasa Sunda berarti Kakak Padi. Di Indonesia padi menyimbolkan kehidupan. Tumbuhnya sang padi yang tak berisik kemudian kian merunduk kala berisi jadi inspirasi dan filosofi. Jadi menurut analisis amatir saya malam ini, secara etimologis Sekolah Rakapare bisa dimaknai meluangkan waktu untuk bermain dan belajar tentang kehidupan.

Kehidupan sehari-hari di Sekolah Rakapare tak satu pun saya lupa. Kami banyak menghabiskan waktu bersama karena sinyal ponsel hampir-hampir tak ada. Malam hari pertama kami belajar bermeditasi sembari bercerita tentang manusia, energi, dan alam semesta dengan Bhatara, salah seorang Kakak Padi yang malam itu serupa tukang tenung. Seram. Esoknya ternyata dia jadi mentor kelompok saya.

Keesokan paginya, saya menggigil kedinginan saat bangun di rumah Bapak Oman, Ibu Enung, dan Regina yang jadi keluarga angkat saya, Siska, dan Anggika. Kami ikut ke kebun hari itu. Perjalanan kesana ternyata cukup melelahkan. Kami menyusuri jalan setapak yang naik turun menembus hutan, menyeberang jeram-jeram, dan berjalan pelan saat menuruni lereng curam. Sesampainya di kebun, kami bertiga membantu Bapak dan Ibu memetiki tomat busuk, menyemprot pestisida, dan menyiangi rumput liar sementara Regina kecil bermain di antara rumput dan bebatuan. Saat pulang, perjalanan kembali ke rumah serasa tidak sepanjang kala berangkat—selalu begitu, bukan?

Petani dan kebun (sewaan) kesayangan

Siang harinya, saya bersama Bhatara yang jadi mentor dan teman-teman sekelompok, yaitu Alan, DP, dan Dicky mendaki bukit. Kelompok-kelompok lain berjalan beberapa meter di depan dan belakang. Saya selalu suka aura pepohonan yang magis sekaligus ramah (mungkin di kehidupan sebelumnya saya pernah jadi anggota suku-suku penyembah pohon itu). Kami sampai di lahan landai yang ditumbuhi pohon-pohon pinus. Anak-anak kampung Asrama berlarian sambil menerbangkan layang-layang. Sesekali layangan mereka tersangkut di dahan pinus yang tinggi. Membuat saya jadi teringat masa kecil dan membanding-bandingkan: betapa tidak romantisnya pengalaman tersangkutnya kok atau layang-layang saya di tiang listrik—kalau bukan atap rumah tetangga. Disana kami semua duduk berkelompok sambil bercakap-cakap tentang sejarah Komune Rakapare sembari berusaha mengenal masing-masing pribadi. Kalau saja kami mebawa buku untuk dibaca bersama, saya yakin Epicurus sang filosof akan tersenyum haru melihat definisi “bersenang-senang”nya menjelma nyata. Bagaimanapun juga percakapan di bawah naungan pinus itu membuat saya tersenyum setiap kali mengingatnya.

Materi di Selasar Surau

Okie–yang setiap presentasi mengucap kata “sebenarnya” rata-rata 80 kali

Hari-hari Sekolah Rakapare selanjutnya kami habiskan dengan serangkaian materi dan workshop, mulai dari Critical Thinking, Ideopolistrata (Ideologi, politik, strategi, dan taktik), Gerakan Pemuda, Analisis Konflik, hingga Desain Propaganda. Surau desa jadi tempat kami bermain dan berdialektika. Oleh Komune Rakapare, selasar sampingnya dipasangi spanduk acara. Papan tulis putih jadi layar proyeksi.

Kami belajar bersama Pak Ari, seorang dosen Sastra Iggris dari Universitas Padjajaran, betapa sesungguhnya berpikir kritis adalah hal yang alami dan menyenangkan.Tentu pijar kritis ini bisa membawamu dalam bahaya kadangkala. Namun menyerah semata karena ketakutan akan bahaya? Pertanyaan ini saya kira menjawab mengapa orang-orang yang kecanduan kemapanan itu bisa jadi sangat membosankan. Berpikir kritis persis seperti anak-anak yang tetap berlarian bebas meskipun orang dewasa yang tengah duduk-duduk itu menyuruh mereka berhenti—agar tidak terjatuh jika tersandung batu kata mereka. Logika memang kadang-kadang justru mengurung kemanusiaan kita.

Materi ideopolistrata adalah salah satu sesi favorit saya. Pada materi ini Bhatara mengajak kami masuk surau bukan untuk sembahyang, melainkan untuk membuat lingkaran. Ia melontarkan pernyataan menyangkut isu-isu kontroversial semacam LGBT, agama, posisi perempuan, perang, kebebasan berekspresi, dan sebagainya. Agar kami tahu ideologi kami, katanya. Lalu kami yang berada dalam lingkaran bisa menyatakan sikap persetujuan, keraguan, atau ketidaksetujuan dengan maju, tetap di tempat, atau mundur. Saya ingat mundur sejauh-jauhnya sampai ke bilik imam ketika pernyataan bahwa perempuan harus selalu tunduk terhadap suami disebutkan. Selain itu, kami juga bermain dalam kelompok untuk membuat pilihan-pilihan dilematis. Sebagai penutup, disampaikanlah ideologi Rakapare yang berlandas Universalisme dan harmoni logika, etika, serta estetika.

Materi Gerakan Pemuda megajak kami berdiskusi soal pemuda yang kini berlomba-lomba jadi budak kapitalisme secara sukarela atau paling-paling terjebak romantisme gerakan mahasiswa lampau. Dalam workshop analisis konflik, kami mempelajari bagaimana Komune Rakapare terjun langsung ke daerah konflik untuk membantu rakyat kecil yang dimanipulasi secara licik oleh pihak perusahaan dan aparatus pemerintahan—mulai dari pengacara, polisi, termasuk preman. Dalam Desain Propaganda, kami belajar bahwa teknologi dan media adalah senjata untuk mewujudkan ideologi yang memperjuangkan kesejahteraan bersama. Saya tersentuh melihat akhirnya ada juga orang-orang yang masih peduli merealisasikan esensi pendidikan—yang selama ini cuma saya bincangkan dan kritisi di kafe atau perpustakaan. Saat malam budaya, Bhatara membacakan puisi Apa Guna karya Wiji Thukul. Saya bingung hendak menangis atau tertawa. Tapi karena setelah itu video fluxcup diputar, saya pun akhirnya tenggelam juga dalam tawa.

Kecuali ideologi spesifik Komune Rakapare dan desain propaganda, saya sesungguhnya sudah pernah belajar yang lain sebelumnya. Namun kadangkala sesuatu memang perlu diulang dua kali dalam waktu yang berbeda, sehingga cara pandang tak lagi sama. Pikiran ini membuat saya merasa absurd: sial sekaligus beruntung. Pasalnya mereka kebanyakan berasal dari jurusan teknik. Tapi soal filsafat, ide-ide, hakikat ilmu sosial, resolusi konflik, dan pengalaman lapangan mereka jauh lebih mumpuni sampai-sampai membuat saya malu jadi anak HI. Sial karena pepatah “youth is wasted on the young” benar-benar menggambarkan diri saya. Namun semacam konspirasi semesta (yang sedikit banyak saya percaya), saya merasa beruntung karena keseluruhan pengalaman saya di masa lalulah yang membuat saya sampai di sekolah ini, termasuk kesalahan, kebodohan, ataupun klise di dalamnya.

Dengan segala kekurangan, stijl, ketidaktepatan waktu kadang-kadang, keasyikan berbagi waktu dengan alam, kemisteriusan kepala sekolahnya, senandung “Over The Misty Mountains Cold”, simbol-simbol yang cenderung maskulin, kehangatan persahabatan teman-teman dan warga Desa Sunten Jaya, hingga kekayaan makna “5 Guidance of Komune”nya, Sekolah Rakapare telah menarik kami ke dalam lubang hitam yang sama.

Lalu Mau Kemana?

Tatapan penuh tanya anak tetangga

Pertanyaan ini jadi sangat overrated setelah saya lulus kuliah. Saya hampir-hampir tidak bisa menahan diri untuk tetap tersenyum tanpa punya keinginan menampar setiap orang yang menanyakannya. Jawabannya membosankan: mau mencari kerja (jawaban ini biasanya disusul dengan tatapan atau pertanyaan retoris penuh iba tentang mengapa saya tak kunjung dapat kerja). Bukankah itu gunanya kuliah dan diwisuda? Agar bisa jadi pekerja. Agar hidupnya bisa mapan tanpa petualangan karena tiap hari jadi mesin. Mengeluh soal macet dan harga bensin yang naik turun, bergosip soal atasan dan rekan kerja, atau merayakan akhir pekan dan liburan di dunia maya sebelum jadi mesin lagi saat Senin tiba.

Mungkin suatu hari saya bakal kepepet dan harus masuk dalam industri mesin itu (menilai dari bagaimana hidup sejauh ini menertawai kita dengan segala keisengannya). Tapi yang jelas saat ini saya masih berusaha mendapatkan pekerjaan yang saya ingini. Saya mau jadi aktivis bersama Komune Rakapare atau bergabung dengan organisasi lain yang sevisi supaya idealisme saya tidak berhenti hanya sampai tulisan dan diskusi. Sembari menunggu waktu, saya mau belajar seni ilustrasi sambil bermain gitar di sela-selanya. Tapi setidaknya karena Sekolah Rakapare, saya jadi punya petunjuk tentang haluan.

Saya punya satu kata favorit dalam Bahasa Inggris yang saya sukai makna, pelafalan, susunan huruf, dan kedengarannya, serta bisa merangkum pengalaman saya selama mengikuti Sekolah Rakapare: “zoetic. Artinya kurang lebih perasaan ketika kita merasa benar-benar hidup dan menyadari eksistensi kita di kehidupan.

Sekolah Rakapare made me feel zoetic. 

3 thoughts on “Sekolah Rakapare Lalu (Bagian 2)

  1. Hai Gio. Terberkatilah karena nyadar selulus kuliah masih bisa punya waktu untuk beraktivitas sesuai keinginan. Sebelum terjebak dalam kewajiban-kewajiban yang monoton….hahahaaa 😀

    Like

Leave a comment